Sabtu, 18 Juli 2009

Peran Agamawan Dalam Membangun Demokrasi

Pengantar
Abad sekarang tidak ada alternatif selain demokrasi. Dalam mensukseskan demokrasi, agamawan memainkan peranan penting. Sejarah menunjukkan demokrasi yang berasal dari Yunani, sebenarnya menjadi kuat karena ambruknya feodalisme. Feodalisme dinilai gagal dalam membangu relasi kemanusiaan yang positif. Ini disebabkan, karena feodalisme tidak memandang manusia dalam kacamata kesetaraan. Gagasan kesetaraan, yang disuarakan dengan kedaulatan rakyat inilah yang dibawa oleh demokrasi.

Agama dan demokrasi memiliki sejarah pergolakan yang lama. Bagi agama, sulit menerima demokrasi, karena demokrasi menempatkan kedaulatan ditangan rakyat. Padahal secara dogma, kedaulatan berada di tangan Tuhan, sehingga agama-agama yang bertaburan di muka bumi tidak gampang menerima demokrasi. Demokrasi yang dipahami juga sebagai kekuatan mayoritas juga tidak boleh dibayangkan akan melahirkan keputusan yang permisif. Ini disebabkan karena demokrasi itu berkaitan sekali dengan Hak Asasi Manusia, jaminan HAM itu berfungsi membatasi prinsip mayoritas.

Persoalan lainnya adalah, agama sering menolak sesuatu yang berasal dari luarnya. Demokrasi adalah datang dari luar agama. Walau sebenarnya, demokrasi dan agama memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menjunjung tinggi martabat kemanusian. Tidak boleh dilupakan bahwa adanya alasan penolakan agamawan terhadap demokrasi juga disebabkan karena mereka ketakutan akan kehilangan kekuasaan. Sebagaimana diketahui bahwa agamawan (terutama dalam sejarah barat) adalah sekutu utama penguasa feodal.

Agama dan perbincangan seputar demokrasi
Demokrasi itu ada perubahan besar didalam pikiran manusia. Demokrasi berbicara antara hak kepentingan kolektif dan pribadi. Demokrasi juga dipengaruhi oleh kultur dan agama setempat. Demokrasi tidak hanya merubah dalam bidang agama, tapi juga falsafah, science, politik, ekonomi dan sebagainya. Demokrasi yang dipahami sebagai kedaulatan manusia secara sekilas mengantarkan kepada kekufuran, karena dianggap telah melawan kedaulatan Tuhan.

Dalam tradisi Islam, keputusan ummah (Ijma' dan ijitihad) menjadi sangat penting. Bagi generasi awal Islam, keterlibatan masyarakat menjadi kekuatan untuk agama itu sendiri. Ini dapat dilihat dari pesan al-Quran yang mengatakan bahwa: 'Pemimpin itu adalah shura diantara kamu', jadi itu sangat demokratis. Jadi Islam tidak mengharamkan demokrasi.
Dalam sejarah agama-agama, sulit sekali menerima demokrasi. Kristen Katolik perlu sejarah panjang dapat menerima demokrasi. Sejarah panjang ini juga terjadi dalam tubuh kaum muslim (Islam). Salah satu sebabnya dikarenakan agamawan cendrung untuk berpihak kepada mereka yang berkuasa.

Dalam tradisi Kristen, usaha untuk memahami demokrasi terjadi antara perang dunia I dan II, dengan peran utama dari Paus VII yang melihat belum ada batasan kekuasaan negara dan pada tahun 1944 maka dia menentang negara totaliter. Berikutnya perjuangan Paus VII dilanjutkan Paus VIII yang juga memikirkan keseimbangan. Tetapi demikian, perjalanan Katolik untuk memikirkan demokrasi juga masih memiliki tantangan. Karena sudah adanya--walau masih sedikit--pikiran-pikiran agar negara mencampuri urusan-urusan pribadi, karena baginya, tanpa pemaksaan gereja kristen itu mati.

Walau demikian demokrasi juga ada kekurangannya. Mengambil contoh di AS yang hanya diikuti 50% pendaftar sebagai pemilih dan hanya 50% dari mereka yang berhak memilih mendaftar. Dan mendaftar itu sangat sulit bagi orang-orang yang miskin dan kurang berpendidikan, dari 50% yang mendaftar itu hanya 50% nya dari mereka yang memilih, artinya hanya 25% rakyat Amerika yang berhak mengundi dalam pilihan umum. Maka kalau George W. Bush menang dengan 51% suara, idealnya sekitar 12% warga Amerika yang memilih Bush.

Mengenai potensi konflik antara demokrasi dan agama, tentu ini tidak perlu terjadi. Karenanya demokrasi dan negara tidak perlu turut campur dalam urusan aqidah, karena itu persoalan yang tidak bisa diputuskan oleh mayoritas demokratis. Yang disebabkan dalam demokrasi itu sendiri itu merupakan faham HAM, bahwa agama- agama mengurus diri sendiri tidak boleh diatur oleh negara. Oleh karena itu, sudah semestinya tidak ada pemilihan ekstrim antara agama dan demokrasi. Kerena demokrasi merupakan pilihan sebagai warga negara. Sedangkan agama mendorong untuk menjadi warga negara yang baik. Agama harus mempengaruhi seluruh hidup manusia. Agama satu pihak menyediakan gagasan ritual, sebagai perwujudan fitrah kemanusian, dan dilain pihak memberikan juga semangat dan spirit moralitas yang sangat diperlukan di semua bidang kehidupan, termasuk politik.

Pengalaman-pengalaman abad ke 20 menunjukkan bahwa demokrasi bisa berjalan dengan baik tanpa mencampuri keimanan orang lain. Memaksa agama kepada orang lain itu adalah hal yang tidak wajar, bahkan memaksa agama sendiri kepada orang lain juga tidak wajar.

Penting diingat adalah demokrasi itu tidak sederhana, karena demokrasi juga dapat membawa manusia kepada dunia keangkuhan, merasa berhak menentukan segala-galanya. Dan disitulah peran agama untuk memberikan kesadaran, bahwa manusia bukanlah sesuatu yang menentukan segala-galanya karena masih ada Tuhan. Penting juga memahami bahwa demokrasi bukan sebuah monster yang berbahaya, justru yang anti demokrasi itulah yang berbahaya. Negara yang demokratis mempunyai keuntungan yang luar biasa dibandingkan negara yang tidak demokrasi.

Maka untuk menopang dan menguatkan demokrasi, peran agamawan sangat dibutuhkan. Karenanya, ada beberapa langkah yang mesti ditempuh. Pertama, agamawan jangan terus curiga. Kedua, harus mendukung keterbukaan dan pluralitas. Ketiga, agamawan tidak boleh berfikir sempit, yang hanya memikirkan kelompoknya saja. Keempat, agamawan mesti inklusif dan menjadikan etika agama sebagai spirit membangun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Supored by : www.anangsugiono.tk