Rabu, 03 November 2010

Mahalnya Biaya Pendidikan di Indonesia

Setelah menunggu pengumuman kelulusan SD, SMP, dan SLTA, kini orang tua dan adik-adik kita dihadapkan pada seleksi masuk sekolah atau perguruan tinggi. Ujian seleksi emang sangat ketat tetapi tidak semenakutkan UNAS kemarin. Atau paling tidak ada pilihan untuk memilih sekolah yang sesuai. Ternyata yang menjadi hambatan adalah mahalnya biaya pendidikan.

Bukankah sekolah gratis? Kok dibilang mahal sih? Betul, sekolah SD dan SMP gratis SPP. Tapi bagaimana biaya sekolah SMA dan perguruan tinggi. Sebagai contoh ada SMA Negeri kabupaten di Jawa Tengah yang pada tahun ini uang pangkal Rp 3juta-Rp 5juta ditambah SPP Rp 250.000,-/bulan atau Rp 1,5 juta/semester (6 bulan). Bayangkan petani atau tukang becak bagaimana bisa menyekolahkan anaknya ke SMA tersebut. Mau menjual ternak atau sawah? Itu tidak mungkin karena barang tersebut adalah sumber penghidupan. Akhirnya biarpun nilai bagus tapi akhirnya harus gigit jari.

Demikian halnya sekolah di perguruan tinggi tak kalah mahalnya. Terutama PTN yang telah berubah status menjadi BHMN atau BHP akhirnya untuk pendanaan dibebankan kepada mahasiswa dengan menaikkan uang pangkal dan biaya semesteran. Sebagai contoh UI, beberapa tahun yang lalu di UI sekitar 2juta-an. Kini uang untuk kuliah di teknik UI uang pangkal Rp 25 jt, dan semesteran Rp 7,6jt. Untuk ukuran uang berduit di Jakarta itu wajar, tetapi untuk orang kampung yang ingin kuliah di UI sudah takut duluan. Ini karena UI sudah menjadi BHMN yang mana UI memerlukan biaya operasional tambahan karena subsidi negara dikurangi. Nah bagaimana PTN-PTN di daerah bila kelak juga berubah menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP)? Bagiamana nasib anak orang miskin, anak petani, anak nelayan, anak buruh. Bukankah mereka juga berhak mngenyam pendidikan tinggi. Apa mereka hanya berhak sekolah sampai SMP saja? Atau mereka hanya berhak kuliah di sekolah-sekolah atau kampus “pinggiran”. Apakah mereka tak pantas untuk sekolah di UI, ITB, UGM? Lantas dimana bagimana amanat pembukaan UUD 1945 tentang mencerdaskan kehidupan bangsa. Atau yang berhak cerdas hanya mereka yang kaya saja. Yang miskin biar tetap bodoh dan miskin.

Ini sebuah ironi. Anggaran pendidikan dinaikkan, tetapi biaya untuk mengakses pendidikan semakin mahal. Saya secara pribadi menyedihkan kejadian ini. Tulisan ini diilhami kejadian nyata yang terjadi di negeri ini. Semoga dapat menjadi pemikiran bagi pemimpin bangsa yang sebentar lagi kita pilih. Mendapatkan kesempatan pendidikan adalah hak semua warga negara.
READ MORE - Mahalnya Biaya Pendidikan di Indonesia

Selasa, 21 Juli 2009

Dampak Pengguna Facebook terhadap Kehidupan Sehari-hari

Facebook demikian marak dibeberapa negara. Perkembangannya cukup pesat. Bermula dari situs jaringan sosial di sebuah universitas dan berkembang pesat ke banyak negara. Mengomentari hal ini segala sesuatu memang semula bermula dari hal kecil dan berkembang menjadi besar. Tingkat kompleksitas sistem dan jaringanpun berkembang dari semula sederhana menjadi sangat kompleks. Ide yang dapat diambil adalah rencanakan dari hal yang sederhana dan realisasikan rencana tersebut. Semua tidak ada yang instan. Seiring dengan realisasi tersebut tentunya perubahan-perubahan bisa dilakukan sehingga rencana semula yang sederhana menjadi suatu karya yang bermanfaat.

Kali ini saya ingin berbagi pendapat saya tentang facebook. Bermula dari dampak baiknya dahulu. Tentunya dengan Facebook kita dapat kembali bertemu dengan teman-teman lama walaupun di dunia maya. Dengan facebook komunikasi antar teman menjadi lancar walaupun berjauhan. Featurenya cukup beragam membuat nyaman menggunakannya. Bagi yang sedang jauh dari komunitas aslinya karena tugas misalnya sedang studi di luar kota atau luar negeri manfaat facebook sangat terasa. Yang saya alami saya masih tetap bisa mengikuti perkembangan komunitas saya di indonesia walupun saya sedang studi lanjut di jerman. Ini sangat diperlukan karena saya tidak akan terasing sekembalinya dari jerman dan menjalankan tugas di kampus saya semula. Banyak pengalaman teman-teman yang studi waktu dulu terasing selama bertahun-tahun sehingga seperti orang aneh ketika kembali ke komunitas semula.

Dengan Facebook kita bisa bertukar pikiran dengan sangat mudah. Pertukaran informasi difasilitasi dengan sangat bagus. Sebagai contohnya ketika kita butuh sesuatu atau ingin tahu tentang sesuatu tinggal kita tuliskan dalam status maka akan banyak respon dari teman kita.

Facebook dapat juga dimanfaatkan untuk mengkampanyekan suatu ide seperti Say No to Drug atau ide-ide lainnya. Membangun komunitas melalui Group atau Pages dengan tujuan yang baik akan sangat bermanfaat. Pertumbuhan Group atau Pages di Facebook terbilang cukup cepat. Sesuatu hal akan berkembang dengan cepat kalau dibangun secara bersama.

Dengan pages, suatu perusahaan juga dapat mengiklankan produknya. Mengenai aturan lebih detail bisa ditanyakan ke Facebook Team. Seharusnya memang Facebook kita manfaatkan secara positif.

Dampak baiknya mungkin banyak yang tahu. Dampak buruk yang terkadang tidak kita sadari. Saya uraikan beberapa hal dampak buruk Facebook:
1. Mengurangi kinerja
Banyak karyawan perusahaan, dosen, mahasiswa yang bermain facebook pada saat sedang bekerja. Mau diakui atau tidak pasti mengurangi waktu kerja. Sebenarnya bisa dikurangi akibatnya jika kita bisa memanage waktu yaitu bermain facebook ketika istirahat. Saya sendiri mengharamkan facebook bagi diri saya ketika saya sedang di institut. Hari senin sampai jum’at dari jam 9 sampai jam 18 adalah waktu terlarang bagi saya untuk membuka facebook.
2. Berkurangnya perhatian terhadap keluarga
Mau diakui atau tidak ini terjadi jika kita membuka facebook saat sedang bersama keluarga. Sebuah riset di inggris menunjukan bahwa orang tua semakin sedikit waktunya dengan anak-anak mereka karena berbagai alasan. Salah satunya karena Facebook. Bisa terjadi sang suami sedang menulis wall, si istri sedang membuat koment di foto sementara anaknya diurusi pembantu. Saya termasuk orang kolot dalam hal ini. Saya akan membatasi diri saya dan keluarga saya untuk sekedar bermain facebook atau sms-an yang tidak penting saat bersama keluarga.
3.Tergantikanya kehidupan sosial
Facebook sangat nyaman sekali. Saking nyamannya sebagian orang merasa cukup dengan berinteraksi lewat facebook sehingga mengurangi frekuensi ketemu muka. Ada sebuah hal yang hilang dari interaksi seperti ini. Bertemu muka sangat lain dan tidak seharusnya digantikan dengan bertemu di dunia maya. Obrolan, tatapan mata, ekspresi muka, canda lewat ketawa tidak bisa tergantikan oleh rentetan kata2 bahkan video sekalipun.
4.Batasan ranah pribadi dan sosial yang menjadi kabur
Dalam Facebook kita bebas menuliskan apa saja, sering kali tanpa sadar kita menuliskan hal yang seharusnya tidak disampaikan ke lingkup sosial. Persoalan rumah tangga seseorang tanpa sadar bisa diketahui orang lain dengan hanya memperhatikan status dari orang tersebut.
5. Tersebarnya data penting yang tidak semestinya
Seringkali pengguna Facebook tidak menyadari beberapa data penting yang tidak semestinya ditampilkan secara terbuka. Seperti sudah dijelaskan dalam artikel tentang keamanan facebook, default dari info kita seharusnya tertutup dan tidak tertampil. Kalau memang ada yang perlu baru dibuka satu per satu sesuai kebutuhan.
6. Pornografi
Sebagaimana situs jejaring sosial lainnya tentu ada saja yang memanfaatkan situs semacam ini untuk kegiatan berbau pornografi.
7. Pemanfaatan untuk kegiatan negatif
Walupun telah diatur dalam peraturan penggunaan Facebook, tetap saja ada pihak yang memanfaatkan facebook untuk kegiatan negatif melalui group ataupun pages.
8. Kesalahpahaman
Facebook merupakan jaringan sosial yang sifatnya terbuka antara user dan teman-temannya. Seperti kehidupan nyata gosip atau informasi miring dengan cepat juga dapat berkembang di jaringan ini. Haruslah disadari menulis di status, di wall dan komentar diberbagai aplikasi adalah sama saja seperti obrolan pada kehidupan nyata bahkan efeknya mungkin lebih parah karena bahasa tulisan terkadang menimbulkan salah tafsir. Sudah ada kasus pemecatan seorang karyawan gara-gara menulis yg tidak semestinya di facebook, juga terjadi penuntutan ke meja pengadilan gara-gara kesalahpahaman di Facebook.
9. Mempengaruhi kesehatan (masih perdebatan)
Sebuah artikel di media inggris menyebutkan Facebook dapat meningkatkan stroke dan penyakit lainnya. Alasan yang dikemukakan menurut saya masih perlu dikaji lagi. Kalau menurut pendapat saya bukan karena facebooknya tetapi karena kebiasaan duduk berlama-lama di depan komputer.

Bagi saya pribadi yang sedang jauh dari keluarga merasa sangat beruntung karena bisa berhubungan dengan keluarga lewat dunia maya. Dengan facebook aktivitas keluarga dapat diikuti walaupun berjauhan. Facebook adalah sarana, dampak baik atau buruk tergantung dari kemampuan seseorang mengatur dirinya. Mari pergunakan sesuatu sesuai porsinya. Pahami dengan benar etika dalam kehidupun maya selayaknya etika di kehidupan nyata.
READ MORE - Dampak Pengguna Facebook terhadap Kehidupan Sehari-hari

Sabtu, 18 Juli 2009

Peran Agamawan Dalam Membangun Demokrasi

Pengantar
Abad sekarang tidak ada alternatif selain demokrasi. Dalam mensukseskan demokrasi, agamawan memainkan peranan penting. Sejarah menunjukkan demokrasi yang berasal dari Yunani, sebenarnya menjadi kuat karena ambruknya feodalisme. Feodalisme dinilai gagal dalam membangu relasi kemanusiaan yang positif. Ini disebabkan, karena feodalisme tidak memandang manusia dalam kacamata kesetaraan. Gagasan kesetaraan, yang disuarakan dengan kedaulatan rakyat inilah yang dibawa oleh demokrasi.

Agama dan demokrasi memiliki sejarah pergolakan yang lama. Bagi agama, sulit menerima demokrasi, karena demokrasi menempatkan kedaulatan ditangan rakyat. Padahal secara dogma, kedaulatan berada di tangan Tuhan, sehingga agama-agama yang bertaburan di muka bumi tidak gampang menerima demokrasi. Demokrasi yang dipahami juga sebagai kekuatan mayoritas juga tidak boleh dibayangkan akan melahirkan keputusan yang permisif. Ini disebabkan karena demokrasi itu berkaitan sekali dengan Hak Asasi Manusia, jaminan HAM itu berfungsi membatasi prinsip mayoritas.

Persoalan lainnya adalah, agama sering menolak sesuatu yang berasal dari luarnya. Demokrasi adalah datang dari luar agama. Walau sebenarnya, demokrasi dan agama memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menjunjung tinggi martabat kemanusian. Tidak boleh dilupakan bahwa adanya alasan penolakan agamawan terhadap demokrasi juga disebabkan karena mereka ketakutan akan kehilangan kekuasaan. Sebagaimana diketahui bahwa agamawan (terutama dalam sejarah barat) adalah sekutu utama penguasa feodal.

Agama dan perbincangan seputar demokrasi
Demokrasi itu ada perubahan besar didalam pikiran manusia. Demokrasi berbicara antara hak kepentingan kolektif dan pribadi. Demokrasi juga dipengaruhi oleh kultur dan agama setempat. Demokrasi tidak hanya merubah dalam bidang agama, tapi juga falsafah, science, politik, ekonomi dan sebagainya. Demokrasi yang dipahami sebagai kedaulatan manusia secara sekilas mengantarkan kepada kekufuran, karena dianggap telah melawan kedaulatan Tuhan.

Dalam tradisi Islam, keputusan ummah (Ijma' dan ijitihad) menjadi sangat penting. Bagi generasi awal Islam, keterlibatan masyarakat menjadi kekuatan untuk agama itu sendiri. Ini dapat dilihat dari pesan al-Quran yang mengatakan bahwa: 'Pemimpin itu adalah shura diantara kamu', jadi itu sangat demokratis. Jadi Islam tidak mengharamkan demokrasi.
Dalam sejarah agama-agama, sulit sekali menerima demokrasi. Kristen Katolik perlu sejarah panjang dapat menerima demokrasi. Sejarah panjang ini juga terjadi dalam tubuh kaum muslim (Islam). Salah satu sebabnya dikarenakan agamawan cendrung untuk berpihak kepada mereka yang berkuasa.

Dalam tradisi Kristen, usaha untuk memahami demokrasi terjadi antara perang dunia I dan II, dengan peran utama dari Paus VII yang melihat belum ada batasan kekuasaan negara dan pada tahun 1944 maka dia menentang negara totaliter. Berikutnya perjuangan Paus VII dilanjutkan Paus VIII yang juga memikirkan keseimbangan. Tetapi demikian, perjalanan Katolik untuk memikirkan demokrasi juga masih memiliki tantangan. Karena sudah adanya--walau masih sedikit--pikiran-pikiran agar negara mencampuri urusan-urusan pribadi, karena baginya, tanpa pemaksaan gereja kristen itu mati.

Walau demikian demokrasi juga ada kekurangannya. Mengambil contoh di AS yang hanya diikuti 50% pendaftar sebagai pemilih dan hanya 50% dari mereka yang berhak memilih mendaftar. Dan mendaftar itu sangat sulit bagi orang-orang yang miskin dan kurang berpendidikan, dari 50% yang mendaftar itu hanya 50% nya dari mereka yang memilih, artinya hanya 25% rakyat Amerika yang berhak mengundi dalam pilihan umum. Maka kalau George W. Bush menang dengan 51% suara, idealnya sekitar 12% warga Amerika yang memilih Bush.

Mengenai potensi konflik antara demokrasi dan agama, tentu ini tidak perlu terjadi. Karenanya demokrasi dan negara tidak perlu turut campur dalam urusan aqidah, karena itu persoalan yang tidak bisa diputuskan oleh mayoritas demokratis. Yang disebabkan dalam demokrasi itu sendiri itu merupakan faham HAM, bahwa agama- agama mengurus diri sendiri tidak boleh diatur oleh negara. Oleh karena itu, sudah semestinya tidak ada pemilihan ekstrim antara agama dan demokrasi. Kerena demokrasi merupakan pilihan sebagai warga negara. Sedangkan agama mendorong untuk menjadi warga negara yang baik. Agama harus mempengaruhi seluruh hidup manusia. Agama satu pihak menyediakan gagasan ritual, sebagai perwujudan fitrah kemanusian, dan dilain pihak memberikan juga semangat dan spirit moralitas yang sangat diperlukan di semua bidang kehidupan, termasuk politik.

Pengalaman-pengalaman abad ke 20 menunjukkan bahwa demokrasi bisa berjalan dengan baik tanpa mencampuri keimanan orang lain. Memaksa agama kepada orang lain itu adalah hal yang tidak wajar, bahkan memaksa agama sendiri kepada orang lain juga tidak wajar.

Penting diingat adalah demokrasi itu tidak sederhana, karena demokrasi juga dapat membawa manusia kepada dunia keangkuhan, merasa berhak menentukan segala-galanya. Dan disitulah peran agama untuk memberikan kesadaran, bahwa manusia bukanlah sesuatu yang menentukan segala-galanya karena masih ada Tuhan. Penting juga memahami bahwa demokrasi bukan sebuah monster yang berbahaya, justru yang anti demokrasi itulah yang berbahaya. Negara yang demokratis mempunyai keuntungan yang luar biasa dibandingkan negara yang tidak demokrasi.

Maka untuk menopang dan menguatkan demokrasi, peran agamawan sangat dibutuhkan. Karenanya, ada beberapa langkah yang mesti ditempuh. Pertama, agamawan jangan terus curiga. Kedua, harus mendukung keterbukaan dan pluralitas. Ketiga, agamawan tidak boleh berfikir sempit, yang hanya memikirkan kelompoknya saja. Keempat, agamawan mesti inklusif dan menjadikan etika agama sebagai spirit membangun.
READ MORE - Peran Agamawan Dalam Membangun Demokrasi

Kampanye via SMS Cara Efektif Gaet Pemilih di 2009

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) telah menyepakati penggunaan SMS sebagai sarana kampanye Pemilu 2009. Hal ini pun dinilai sebagai sarana komunikasi massa yang efektif.

“SMS sifatnnya efektif, murah, dan memenuhi kriteria komunikasi massa, yaitu dilaksanakan oleh sebuah institusi, ada unsur keserempakan dan disebarkan ke masyarakat luas,” kata Pengamat Komunikasi Politik, Effendi Gazali ketika dihubungi via telepon, Jumat (25/7/2008).

Namun menurut Effendi, dalam berkampanye via SMS ada unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam pengelolaannya, karena jika tidak, maka hal tersebut dapat mengaburkan pesan yang justru ingin disampaikan.

“Dalam SMS, titik, koma, singkatan-singkatan, simbol-simbol jika pengelolaannya tidak tepat dapat mengaburkan isi pesan. Tetapi jika dikelola dengan baik dan segmented, misalnya SMS khusus untuk anak muda dengan menggunakan bahasa anak muda, dan SMS untuk orang tua dengan bahasa khusus orang tua, maka bisa menjadi kekuatan yang luar biasa,” terang Gazali.

Sama ketika kita sering membaca SMS dan langsung marah, namun setelah dipahami lebih lanjut ternyata maksudnya baik. Untuk itu pula perlu adanya pengawasan pelaksanaan penggunaan SMS ini.

“Perlu dibuat suatu peraturan dan badan khusus di bawah KPU. Di dalamnya terdapat hak ralat dari narasumber jika isinya tidak sesaui dengan yang dikemukankan oleh narasumber,” terangnya.

Tambah lagi, perlu juga dibuat suatu badan pengawasan tersendiri, di bawah KPU. “Badan inilah yang akan pertamakali menerima pesan dari narasumber, dan mengawasi penyebaran SMS beserta keaslian isinya,” imbuhnya.
READ MORE - Kampanye via SMS Cara Efektif Gaet Pemilih di 2009

Mempertegas Otonomi Pendidikan; Menuju Masyarakat Edukatif

Di era otonomi daerah dan pendidikan yang sekarang sedang gencar dilaksanakan oleh pemerintah pusat kini pemerintah daerah telah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurusi segala sesuatu tentang pendidikan di daerahnya masing-masing di seluruh Indonesia. Hal itu telah tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan penuh tersebut dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1; ''Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam kewenangan politik luar negeri, pertahanan keamanan, keadilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.''

Pada era otonomi tersebut kualitas pendidikan akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Ketika pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerah bersangkutan akan maju. Sebaliknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated, tidak akan pernah mendapat momentum yang baik untuk berkemabang (Suyanto; 2001).

Pemberian dan berlakunya otonomi pendidikan di daerah dalam pendangan Syaukani memiliki nilai strategis bagi daerah untuk berkompetisi dalam upaya membangun dan memajukan daerah-daerah di seluruh Nusantara, terutama yang berkaitan langsung dengan sumber daya manusia dan alamnya dalam mendobrak kebekuan dan stagnasi yang dialami dan melingkupi masyarakat selama ini. Begitu juga dengan adanya desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah baik tingkat kabupaten atau pun kotamadya dapat memulai peranannya sebagai basis pengelolaan pendidikan dasar. Di tingkat propinsi dan kabupaten akan diadakan lembaga nonstructural yang melibatkan masyarakat luas untuk memberikan pertimbangan pendidikan dan kebudayaan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerahnya (Kompas; 1999).

Di samping itu, dalam era otonomi sekarang ini peran masyarakat yang sebelumnya termarjinalkan, kini sydah saatnya dikikis habis dan diberikan kepercayaan dalam mengatur untuk bisa berperan dalam pemberdayaan dan pengelolaan pendidikan. Tidak hanya sekedar sebagai penyumbang atau dana penambah bagi sekolah yang terlembagakan dalam BP3. Dengan kata lain ketidakseimbangan dan ketimpangan antara hak dan kewajiban anggota BP3 (yang terdiri dari masyarakat yang merupakan kumpulan para wali/ orang tua siswa (peserta didik) dalam manejemen sekolah harus ditiadakan. Karena hal itu telah menjadikan lembaga yang seharusnya mewadahi partisipasi masyarakat-dalam hal ini para orang tua/ wali peserta didik-menjadi lembaga yang tidak ada fungsinya (disfunction). Maka ketika otonomisasi digalakkan adalah sudah saatnya masyarakat (orang tua) diikutsertakan dalam pengambilan keputusan di sekolah dalam berbagai hal. Tapi, tidak hanya sekedar sebagai formalitas belaka, yang artinya, orang tua ketika diikutsertakan dalam musyawarah dengan pihak sekolah tidak hanya sebagai objek atau hanya sebagai pendengar saja (only learner). Melainkan harys benar-benar di libatkan secara langsung.

Begitu pula sebaliknya. Pihak sekolah dan BP3 yang biasanya sudah terlebih dahulu merencanakan dan menganggarkan SPP (misalnya) untuk siswa tidak melibatkan para orang tua/ wali siswa. Orang tua/ wali siswa (peserta didik) hanya dijadikan pihak kedua (the second man) dalam masalah tersebut. Yang pada gilirannya musyawarah tersebut hanya menjadi ''guyonan belaka'' atau sekedar formalisme.

Nah, di era otonomi ini hal itu sudah saatnya dirubah dan dibuang jauh-jauh dari paradigma berpikir kritis untuk membangun sebuah masyarakat yang berpendidikan, humanis, demokratis dan berperadaban. Agar masyarakkat yang selama ini termarjinalkan dalam lubang berpikir ortodoks tidak lagi ada dalam bangunan dan tatanan masyarakat yang dinamis dan progresif. Dan dapat bersama-sama membangun pendidikan yang maju dan qualified dalam percaturan internasional. Sehingga nantinya dapat terwujud masyarakat edukatif, pembelajar-bahasa Andreas Hafera-dan demokratis yang dapat turut serta menciptakan ''Masyarakat Madani'' sebagaimana yang kerap muncul dalam wacana kekinian dalam upaya membangun bangsa.

Bila yang terjadi demikian, maka masyarakat juga akan merasa bangga dengan dirinya sendiri dan pada gilirannya akan respek terhadap kemajuan dan perkembangan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan sendiri. Karena masyarakat telah diberikan penghargaan yang tiada tara sebagai makhluk sosial dan sebagai hamba Tuhan. Sehingga pendidikan masyarakat yang mencakup seluruh komponen masyarakat dan sekolah itu sendiri (baik orang tua/ wali siswa/ peserta didik, peserta didik sendiri, sekolah dan juga pemerintah) dapat berjalan sinergis, beriringan dan selaras.

Akan tetapi, hal itu tentu saja tidak begitu mudah untuk dilakukan. Karena berbagai elemen dan perangkat untuk menunjang itu semua haruslah dapat dengan tegas bahwa semua itu diimplementasikan hanya untuk mempertegas bahwa otonomisasi pendidikan sudah benar-benar dijalankan tanpa tedeng aling-aling. Dan berbagai upaya ke arah itu pun sudah sedang dan mesti digalakkan. Agar dapat mencapai hasil yang maksimal dan dapat memenuhi target yang telah ditentukan. Oleh karena itu, dalam dan untuk mempertegas otonomisasi pendidikan itu semua tidak hanya membutuhkan perangkat bantuan yang berupa materil. Melainkan, dukungan moril dan kotribusi pemikiran dan ide-ide segar sangat dibutuhkan.

Tetapi, itu semua tidak hanya cukup diberikan oleh segelintir masyarakat saja. Justru, dukungan seluruh komponen masyarakat kita pun juga amat menentukan proses keberlangsungan itu semua. Maka tidak heran bila Suyanto menyatakan Otonomi Pendidkan harus perlu mendapat dukungan DPRD. Karena, DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut.

Hal itu selaras dan menemukan relevansinya sebagaimana pasal 14 UU. No. 22/ 1999; di setiap daerah otonomi memiliki sistem pemerintahan yang terdiri dari DPRD sebagai badan legislatif daerah, Pemerintah daerah (Pemda) sebagai badan eksekutif daerah. Kemudian, insititusi itu harus bekerja sama secara seimbang agar daerah otonom dapat berfungsi secara efektif dan demokratik bagi semua warga masyarakat.

Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun paradigma dan visi pendidikan di daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, badan legistlatif daerah ini harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Dan memiliki kesetaraan dalam kinerja legislasinya. Juga, bagi kepala daerah dalam membangun pendidikan di daerahnya masing-masing.

Lebih dari itu, Dewan Daerah atau Dewan Kota perlu ikut memberikan warna keputusan politik di bidang pendidikan daerah. Kepala Pemerintah daerah/ kota harus diberikan masukan secara sistematis dan berkelanjutan dalam membangun pendidikan daerah (ibid). Karena bila tidak, maju dan mundurnya pendidikan di era otonomi daerah adalah tergantung dari dan kebijakan politik yang diambil di bidang pendidikan yang dihasilkan Dewan Daerah atau Dewan Kota yang melembaga ke dalam DPRD.

Bahkan dikatakan Eko Budiharjo, berkaitan dengan diimplementasikannya otonomi pendidikan, sudah barang tentu peran dari lembaga pendidikan sebagai pusat pengetahuan (central of science), ilmu teknologi, dan budaya menjadi lebih penting dan sangat strategis. Dan hal itu dilakukan adalah dalam rangka pemberdayaan daerah, untuk mempertegas otonomi yang sedang berjalan. Disebabkan kebanyakan pemerintah daerah tingkat satu (propinsi) apalagi tingkat dua (kabupaten dan kotamadya) tidak memiliki sumber daya manusia (sdm) yang cukup handal dan potensial untuk mengelola dan mengatur daerahnya secara optimal. Kerja sama yang lebih erat antara lembaga pendidikan di daerah dengan pemerintah daerahnya sangat diperlukan.

Lebih lanjut Eko Budiharjo menegaskan, tokoh-tokoh ilmuwan dan pakar dari kampus lebih didayagunakan sebagai braint trust atau think thank untuk pembangunan daerahnya, tidak hanya sekedar sebagai pemerhati, kritikus, atau penggecam kebijakan daerah. Sebaliiknya, lembaga pendidikan yang ada juga harus dapat membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya, dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah (problem solving) yang dihadapi oleh rakyat.

Selain itu, pemerintah daerah pusat tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah. Pemerintah pusat hanya diperbolehkan dan dipersilahkan untuk memberikan kebijakan-kebijakan dalam persoalan tersebut. Namun itu pun harus atas dasar persetujuan bersama pemerintah-pemerintah daerah. Atau dengan lain perkataan, keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan ini hanya mencakup dua aspek; mutu dan pemerataan. Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan, dan berupaya agar semua siswa dapat berprestasi setinggi dan sebaik mungkin. Agar semua sekolah dapat mencapai standar minimum mutu pendidikan, dengan keragaman prestasi antarsekolah dalam suatu lokasi sekecil mungkin. Pendeknya, pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Karena otonomi pengelolaan pendidikan berada di tingkat sekolah. Maka peran lembaga pemerintah adalah memberi pelayanan dan dukungan kepada sekolah. Agar proses pendidikan berjalan efektif dan efisien (Indra Djati Sidi; 2001). Sehingga, Masyarakat Berbasis Sekolah (MBS) yang kerap dibicarakan dapat menemukan konteks dan momentumnya, yang pada gilirannya dapat terwujudkan.
READ MORE - Mempertegas Otonomi Pendidikan; Menuju Masyarakat Edukatif

Membangun Masa Depan Indonesia Berbasis Moral ( Sebuah Renungan )

I. Permasalahan :

Pendidikan dewasa ini, disadari atau tidak mengalami distorsi yang sangat mengkhawatirkan. Di satu sisi kita telah membuat kurikulum yang menurut pemikiran kita sangat diharapkan memiliki kehandalan dalam peningkatan intelektualitas, namun di sisi lain perilaku anak didik kita pada umumnya mengalami hal yang tidak menggembirakan.

Di hadapan kita seringkali tersaji realitas, banyak tindakan kriminalitas seperti penyalahgunaan obat-obat terlarang, kejahatan seksual, pencurian dan lain-lain, justru dilakukan oleh mereka yang berstatus sebagai pelajar.

Ada apa dengan pendidikan kita ?

II. Pendekatan Kasus

Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi salah satu pihak maupun bersandandar pada pesimistis kita ( khususnya mereka yang secara langsung berkiprah dalam dunia pendidikan ). Namun saya mencoba merefleksikan hasil perenungan saya selama ini dalam hal melihat sebuah fakta bahwa secara moralitas kita mengalami kegagalan di dalam mendidik anak-anak kita.

Kita melihat pendidikan agama, misalnya, yang diajarkan di sekolah nampaknya belum dapat menyentuh titik sentral dari moral siswa. Sebab, pendidikan agama yang diajarkan kepada mereka sebatas pada nilai-angka, baik berupa hafalan ayat, sejarah dan sebagainya. Selayaknya kita berorientasi pada ajaran-ajaran yang bersifat akhlak dan budi pekerti ( yang kita kenal dengan nilai-nilai agama itu sendiri ).

Contoh lain, tehadap mata pelajaran PPKn, seringkali siswa hanya diajarkan tentang pasal-pasal dalam Tap MPR. Mengapa kita tidak menyentuh mereka dengan apa yang mestinya kita perbuat sebagai warga negara yang baik, bermartabat dan berbudaya ?

Sesungguhnya, kita belum terlambat untuk sesegera mungkin memutar haluan kapal kita, untuk menambal segala macam kekurangan yang ada di dalam sistem pendidikan kita.

III. Kesimpulan dari Tulisan ini

Ada tiga hal pokok, menurut hemat saya yang harus segera diperbaiki, anatara lain :

a. Tinjau kembali pola pengajaran dari semua mata pelajaran yang memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung terhadap moralitas anak-didik kita,

b. Tinjau kembali metodologi pengajaran kita, dari guru yang hanya bercerita, berceramah menjadi guru yang mengedepankan dialogis ( khususnya di dalam memecahkan permasalahan moralitas anak didik )

c. Tinjau kembali perilaku sebagian guru kita, yang sesungguhnya mereka sebagai agen perubahan ( termasuk contoh moralitasnya ), sehingga anak-didik memiliki kebanggaan ( dalam tanda petik ) terhadap gurunya. Bukankah guru adalah di-gugu dan di-tiru ? - maksudnya dalam perilaku positif.

d. Aktifkan anak-didik kita dalam kegiatan keagamanaan di sekolah, berikan waktu khusus kepada mereka di dalam mengembangkan nilai-nilai moral agama yang dianutnya.

Akhirnya, semoga tulisan singkat ini menjadi bahan renungan kita yang sangat peduli terhadap perkembangan moral generasi penerus bangsa.

Selesai.
READ MORE - Membangun Masa Depan Indonesia Berbasis Moral ( Sebuah Renungan )
Supored by : www.anangsugiono.tk